PENTAHELIX

Hibah Intelektual

12/28/20235 min read

Bermula dari Komunitas atau Organisasi Kota Kreatif yang sengaja saya bentuk, mengajak teman-teman individu atau komunitas kreatif, sejak 2014 menjadi komunitas kreatif yang terus menyuarakan perlu adanya kebijakan spesifik dari pemerintah kota yang menyangkut Pengembangan Ekosistem Ekonomi Kreatif di kota Balikpapan. Saat itu ada harapan besar, minimal keinginan untuk melihat adanya upaya yang lebih serius dari Pemkot Balikpapan agar dapat menghadirkan sebuah kelembagaan yang dapat menjadi wadah bersama untuk menarasikan ide, menuangkan pikiran, merumuskan berbagai kebijakan, menjadi media atau saluran komunikasi, informasi menyampaikan kritik, saran yang berkelanjutan terkait Ekosistem Pengembangan Ekonomi Kreatif kota dengan melibatkan ABCGM (Academician, Business, Community, Government dan Media). 

Istilah ABCGM saat itu masih asing didengar, namun saya berpendapat, bila wadah atau saluran komunikasi, informasi ABCGM dapat terwujud, maka kolaborasi PENTAHELIX (istilah yang jarang digunakan juga saat itu) dapat berjalan. Dengan demikian harapannya pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Balikpapan mempunyai pondasi atau pijakan yang kuat untuk menjalankan instruksi Presiden Republik Indonesia No 6 Tahun 2009 pada diktum ketiga yang berbunyi ; 'masing-masing Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur, Bupati/Walikota menyusun dan melaksanakan Rencana Aksi pengembangan Ekonomi Kreatif.'

Hingga ditahun 2016 awal, wadah kolaborasi ABCGM untuk menjadi ruang bersama dalam mengusulkan kebijakan publik (bersifat tidak hanya Top Down tapi juga Bottom Up Approach) sekaligus sebagai saluran komunikasi, informasi publik terkait pengembangan Ekonomi Kreatif tidak kunjung ada. Dilevel Kota, bahkan provinsi, Pengembangan Ekonomi Kreatif ditahun-tahun tersebut pun bisa dibilang baru sebatas risalah, kajian-kajian normatif dan implementasi yang belum terorkestrasi secara baik, singkatnya belum menjadi bagian dari mimpi besar kepala daerah untuk membawa Ekonomi Kreatif sebagai potensi menggerakan warga sebagai subjek bagi pembangunan kota, sekaligus sebagai sumber ekonomi alternatif yang selalu terbarukan untuk memompa PAD kota. Lalu bagaimana dengan istilah kota Kreatif ?'

Ada yang mengatakan, 'tapi penggiat kreatif sudah banyak saat itu !' bila hanya itu yang menjadi dasar argumennya, benar-benar saja, sebab pedagang nasi goreng, penjual gado-gado juga pelaku industri kreatif, dan sudah ada sejak Gadis Kretek lahir. Ada pula yang ber statement, 'Pemkot sejak lama konsen dengan kerajinan daerah,' itupun juga benar adanya, karena Peraturan dari Pusat, istri dari Kepala Daerah biasanya selain menjadi ketua PKK juga menjabat sebagai ketua DEKRANASDA. Namun yang perlu di ingat, Kerajinan hanya menjadi salah satu dari 14 subsektor Industri Kreatif yang ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden RI No 6 tahun 2009 pada diktum kedua.

2 Tahun perjalanan untuk memberikan awareness pentingnya Pengembangan Ekonomi Kreatif agar dapat di orkestrasi langsung oleh Pemerintah Kota mengalami jalan buntu. Konsep, gagasan yang pernah diberikan untuk dinas terkait saat itu, hampir tidak pernah direspon. Tidak dalam maksud menyalahkan, tapi lebih kepada menyadari bahwa saya pribadi memang bukan siapa-siapa, bukan orang dekat pak wali, saudara ibu wali, bukan juga tim sukses kepala daerah, atau temannya tim sukses kepala daerah, bukan tokoh masyarakat, apalagi investor, hanya bagian dari warga kelas bawah yang saat itu ingin memberikan 'Hibah Intelektual' (profesi saya sebagai Dosen menjadi salah satu dorongannya) untuk kota nyaman, kota tempat dimana saya dilahirkan, sebuah kota yang sejatinya sudah keren dari awal berdirinya. Itu mengapa Tom Lembong pernah memberi saran kepada Presiden Joko Widodo agar proyek IKN lebih tepat berada di Kota Balikpapan,' sudah tentu punya dasar argumen, dan sangat beralasan.

Sebagai Dosen, saya juga terus penasaran akan potensi kota kelahiran saya ini. Apakah kota Balikpapan juga punya potensi untuk diarahkan sebagai salah satu kota dimana denyut ekonomi nya tidak hanya mengandalkan efek dari eksplorasi atau pengolahan minyak bumi dan tambang batu bara ?. Apakah Balikpapan bisa menggerakan roda ekonomi nya berbasis Ide, dimana setiap warganya tidak dilihat sebagai objek melainkan sebagai subjek bagi pembangunan kota ? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu ada dipikiran, rasa penasaran terus mendorong saya untuk terus mencari jawabannya dan hal yang menarik, untuk menjawab semua itu saya perlu guide khusus agar saat meneliti dan menyimpulkan, hasilnya dapat dipertanggung jawabkan.

Tidak ingin berlama-lama saya berinisiatif menghubungi Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (BEKRAF RI), sebuah kelembagaan yang bertugas membantu Presiden dalam merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan dan singkronisasi kebijakan dibidang Ekonomi Kreatif. Disambut ramah, di beri pencerahan sangat baik dan Guide yang menurut saya dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan, penunjang untuk meriset sebuah kota kreatif akhirnya ada ditangan saya. Pertanyaan selanjutnya, karena guide itu berisi pertanyaan-pertanyaan, lantas bagaimana menjawabnya ? dan mengapa guide tersebut tidak sekalian diberikan kepada Pemerintah Kota Balikpapan saja untuk sama-sama ditelaah, dijawab, sebagai alat ukur untuk menilai sejauh mana keseriusan Pemkot dalam mengembangkan Ekonomi Kreatif di daerah ? (selengkapnya di artikel CREATIVE CITY)

Singkatnya kembali saya berusaha untuk mengenalkan diri dan mencoba berkomunikasi untuk kesekian kalinya dengan perwakilan dari Pemerintah Kota  (semua pasti tahu seperti apa tantangannya bila warga kelas bawah, bukan siapa-siapa, ingin mencoba berkomunikasi, menyampaikan aspirasi, konsep, gagasan dengan Pemerintah kota). Mula-mula saya mencoba menghubungi Kadis Disperindakop, lalu berlanjut menghubungi Kadis Disporapar. Apadaya, kata Rinto Harahap 'Tangan tak sampai'. Karena semakin penasarannya, upaya terakhir yang saya lakukan adalah dengan menghubungi Kepala Bappeda yang saat itu dikomandoi oleh ibu Nining (bila ada kesempatan, cerita panjangnya akan saya upload di youtube). Beliau (ibu Nining) mengenakan busana hijau, hitam di foto ini ;

Akhir 2016, pola manajemen pengembangan ekonomi kreatif kota (bersifat tidak hanya Top Down tapi juga Bottom Up Approach), sebuah wadah sebagai media informasi dan komunikasi lintas OPD dan perwakilan masyarakat sebagai pelaku kreatif dan Individu yang konsen terhadap pengembangan ekonomi kreatif kota Balikpapan (ABCGM = Academician, Business, Community, Government dan Media) untuk merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan dan singkronisasi kebijakan dibidang Ekonomi Kreatif serta mempercepat aksi pengembangan ekosistem ekonomi kreatif kota, berhasil juga terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikota Balikpapan No: 188.45-455/2016, tepat pada 28 November 2016 lalu, wadah itu saya usulkan bernama Komite Ekonomi Kreatif Kota Balikpapan, namun Walikota saat itu lebih memilih nama Forum Ekonomi Kreatif Kota Balikpapan. Komite ini dibentuk dengan positioning bukan sebagai Eksekutor apalagi Operator, melainkan berperan sebagai Regulator, Fasilitator !. Itu mengapa kehadirannya bukan malah jadi membebankan APBD, justru harus bisa meningkatkan PAD kota.

Artikel ini mungkin terkesan subjektif, namun tanpa mengurangi fakta, saya hanya berusaha objektif menceritakan apa adanya atas apa yang saya alami dan yang telah saya jalani saat itu. Upaya, usaha-usaha untuk menetaskan konsep ini memang minim dokumentasi, sebab selama melakukannya tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk diproyeksikan menjadi bahan menonjolkan citra diri, apalagi diniatkan, dipersiapkan untuk mengikuti seleksi penghargaan-penghargaan yang bertajuk pelopor, berprestasi tingkat kota, provinsi, bila berhasil lanjut ke tingkat kementrian, (baru belakangan dirasa ternyata perlu juga foto, video, sebab sepertinya fenomena  gampang kagum, mudah kaget, cepat menilai pribadi orang lain hanya dari foto, video yang diunggah di media sosial kian nampak).

Semua berjalan berdasarkan ketertarikan dalam meriset dan kesukaan untuk menawarkan gagasan, konsep. Barangkali konsekuensi saya sebagai dosen yang tidak hanya dituntut untuk mengajar saja, tapi juga harus melakukan riset dan pengabdian masyarakat.